Jakarta – Seiring dengan suksesnya acara Water World Forum atau Forum Air Dunia ke-10 di Bali pada tanggal 18-25 Mei 2024, WALHI menyampaikan kritik keras terhadap pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan. Presiden mengatakan bahwa dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah memperkuat infrastruktur airnya dengan membangun 42 bendungan, 1,18 juta hektar jaringan irigasi, 2.156 km pengendali banjir & pengamanan pantai, serta merehabilitasi 4,3 juta hektar jaringan irigasi. Menurut Presiden ,negara mendorong tiga hal secara konsisten: pertama, meningkatkan prinsip solidaritas dan inklusivitas untuk mencapai solusi bersama, terutama bagi negara-negara pulau kecil serta yang mengalami kelangkaan air; Kedua, memberdayakan hydro-diplomacy untuk kerja sama konkret dan inovatif, menjauhi persaingan dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas; Ketiga, memperkuat political leadership sebagai kunci sukses berbagai kerja sama menuju ketahanan air berkelanjutan.
Namun, apa yang disampaikan dalam pidato tersebut faktanya berkebalikan dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. pembangunan infrastruktur, seperti bendungan dan pengaman pantai, bukan tanpa masalah. Di dalamnya banyak terjadi kekerasan, penggusuran tanah, sekaligus penghancuran lingkungan, alih-alih menyelesaikan persoalan krisis air.
Dalam siaran pers-nya, WALHI merangkum dalam beberapa poin, diantaranya yaitu:
1. Kasus Bendungan di desa Wadas, Kecamatan Purworejo, Jawa Tengah yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), menjadi bukti bahwa bendungan yang diklaim akan mengaliri 15.519 hektare lahan dan menjadi sumber pemenuhan air baku bagi masyarakat di Purworejo dan Kulonprogo. Bendungan ini juga diklaim akan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar melalui pengembangan pariwisatanya. Namun, situasi yang terjadi di lapangan justru merusak lingkungan akibat pertambangan batu andesit.
2. Sampai tahun 2024, tercatat sebanyak 218 izin usaha pertambangan (IUP) mengapling 34 pulau-pulau kecil di berbagai wilayah di Indonesia. Di antara pulau kecil yang mengalami kiamat air akibat pertambangan adalah Pulau Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di Pulau kecil ini terdapat 1 Penanaman Modal Asing (PMA) dan 5 Penanaman Modal Dalam Negeri dengan status izin usaha pertambangan (IUP).
3. Pada 22 Desember 2022 lalu, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Putusan MA Nomor 57 Tahun 2022, yang mengabulkan gugatan materiil 30 warga Pulau Wawonii. Di dalam putusan tersebut, MA menyatakan putusan di antaranya bahwa secara filosofis, Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan pulau kecil termasuk wilayah yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus. Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem di atasnya, termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam teori hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan, karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di atasnya, baik flora, fauna, maupun manusianya.
b
4. WALHI Jawa Barat mengkritik PTPN VIII Gunung Mas, Kabupaten Bogor yang saat menuju habisnya Hak Guna Usaha (HGU) malah makin menabrak kaidah-kaidah lingkungan. Hal itu dilakukan melalui skema kemitraan atau kerja sama operasional dengan pihak swasta untuk pemanfaatan lahan HGU. Skema pemanfaatan lahan tersebut dinilai malah menjadi alih fungsi lahan melalui pembangunan lokasi wisata atas dalih kerja sama yang kemudian merubah fungsi-fungsi ekologis.
5. Walhi Jawa Timur mengkritik kualitas dan kuantitas air di Jawa Timur secara bertahap mengalami penurunan cukup siginfikan, hal ini dapat terlihat dari sungai-sungai yang berada di wilayah Jawa Timur, rata-rata mengalami penurunan kualitas. Jawa Timur juga terancam kehilangan sumber mata air di kawasan hulu. Banyak mata air di kawasan hulu seperti pada kawasan Arjuno Welirang yang mengalami penurunan debit dan beberapa mati. Sebagai contoh di Kota Batu dari 111 mata air kini tersisa separuhnya sekitar 57 mata air, temukan berdasarkan penelusuran sumber mata air di wilayah Kota Batu. Pada mata air yang tersisa tersebut mulai mengalami penurunan debit. Sebagai contoh Sumber Samin, Sumber Darmi dan Sumber Binangun yang mengalami penurunan debit. Lalu di Pasuruan dari 471 sumber mata air, sekitar separuhnya mulai mengalami penurunan debit, sebagai contoh yang teridentifikasi yakni Sumber Umbulan, Sumber Bendo dan Banyubiru yang kondisinya kini mengalami penurunan debit.
Berdasarkan hal tersebut, pihak WALHI berkomitmen untuk tetap mengawal kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis air. Terutama terkait pembangunan infrastruktur air.
“Kami akan tetap kritis, namun juga siap mendukung dan mengawal kebijakan pemerintah dalam menangani krisis air dan membangun infrastruktur air.” pungkasnya.