Opini  

Satu Persen PPN untuk Ekonomi Berkelanjutan

Oleh: Ika Hapsari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Jelang tahun 2025, pemerintah bersiap untuk merilis resolusi baru sebagai bagian tak terpisahkan dari transformasi birokrasi. Dari sisi reformasi perpajakan, setidaknya ada dua hajat besar yang segera diimplementasikan.

Pertama adalah diluncurkannya Core Tax Administration System (Coretax), sebuah portal pajak yang modern dan terintegrasi sebagai sarana wajib pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Kedua, penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11% menjadi 12%.

Praktis, kedua kebijakan ini tak lepas dari beragam respons masyarakat, khususnya mengenai penyesuaian tarif PPN sebesar 1%. Ditilik dari perspektif partisipasi sosial, dinamika yang jamak terjadi ini justru sinyal yang baik. Hal ini menandakan masyarakat tidak abai dan aktif turut serta dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Pengawasan melekat oleh publik sangat penting dalam upaya menegakkan tata kelola pemerintahan yang inklusif, transparan, dan akomodatif.

Studi Kharisma dan Muliati (2024) menyebut implementasi kebijakan perpajakan, sosial, dan ekonomi secara bersama-sama dapat membentuk kondisi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini mengindikasikan bahwa beleid tarif PPN 12% dapat disikapi secara holistik dan visioner dari sudut pandang sustainability dan multiplier effect yang dihasilkannya.

Terlebih, tarif PPN 12% paling lambat 1 Januari 2025 merupakan amanat konstitusi yang telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPN/PPnBM jo. UU HPP). Sementara lahirnya UU HPP serta paket aturan turunannya merupakan manifestasi dari reformasi perpajakan pada pilar regulasi atau peraturan perundang-undangan.

Adapun proses penyusunan dan pengesahan UU HPP beberapa tahun silam telah melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif resmi perwakilan suara masyarakat. Rapat dengar pendapat dengan melibatkan berbagai asosiasi (meaningful participation) juga telah dilaksanakan sesuai prosedur dengan tetap memfasilitasi masukan dan saran yang konstruktif. Dengan demikian, mekanisme ini tentu mematahkan argumentasi yang menyatakan bahwa tidak ada pajak tanpa perwakilan (no tax without representatives) yang sempat menggema di linimasa.

Sebagai institusi resmi penghimpun penerimaan negara, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama-sama dengan Kementerian Keuangan telah menetapkan rencana strategis yang di antaranya memuat tujuan organisasi. Penerimaan negara yang optimal, pengelolaan fiskal yang sehat dan berkelanjutan, serta birokrasi dan layanan publik yang agile, efektif, dan efisien adalah tiga orientasi utamanya. Oleh karena itu, tingkat kepercayaan masyarakat merupakan aspek krusial demi mewujudkan misi mencapai penerimaan negara yang optimal tersebut. Kondisi ini adalah indikator utama keberhasilan bersama, berupa wujud kontribusi kolektif untuk mengisi pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang manfaatnya tentu kembali lagi kepada seluruh lapisan masyarakat.

Pada laporan kinerja DJP tahun 2023, diketahui bahwa realisasi penerimaan pajak pada tahun 2023 adalah sebesar Rp1.867,87 triliun atau setara dengan 102,73% dari target. Sementara, penerimaan PPN dan PPnBM menyumbang kontribusi sebesar Rp763,63 triliun rupiah dengan PPN Dalam Negeri tercatat mendominasi dengan nilai Rp475,8 triliun (tumbuh sebesar 21,91% yoy).

Salah satu latar belakang peningkatan signifikan kinerja penerimaan pada tahun 2023 adalah tumbuh positifnya mayoritas sektor usaha karena didukung kondisi ekonomi domestik yang terjaga. Bahkan data membuktikan bahwa sejak tahun 2021 s.d. 2023 target penerimaan pajak selalu berhasil melampaui 100% (hattrick) setelah selama satu dekade sebelumnya tidak pernah mencapai 100%. Kesuksesan tersebut diantaranya disumbangkan oleh sigma penyesuaian 1% tarif PPN pada UU PPN/PPnBM jo. UU HPP.

Urgensi dan Manfaat

Optimisme ini dapat menjadi acuan yang positif dalam menghadapi tahun 2025. Kontraksi ekonomi berupa terkatrolnya harga barang dan/atau jasa akibat pembebanan PPN kepada konsumen akhir adalah hal yang mustahil dihindari dalam jangka pendek. Kendati demikian, alih-alih penurunan, dalam jangka panjang fungsi pajak dari sisi budgetair, regulerend, stabilitas, dan redistribusi pendapatan akan memainkan peranannya.

Terlebih, dengan perkembangan ekonomi digital dan disrupsi teknologi yang demikian pesat, penyesuaian tarif PPN akan menjadi game changer untuk menjaring potensi pajak digital. Riset Cesaria, dkk. (2024) menyimpulkan penyesuaian tarif PPN dapat berpengaruh pada peningkatan harga jual barang dan jasa di pasar, peningkatan harga produksi dan harga pokok penjualan, hingga memicu inflasi. Meski demikian, penyesuaian tarif PPN dapat meningkatkan pendapatan pajak pemerintah, mengurangi defisit anggaran, dan menjaga stabilitas fiskal.

Dari sudut pandang produktivitas, penyesuaian tarif PPN menjadi 12% justru dapat memutar roda ekonomi, baik dari sektor manufaktur, perdagangan, digital bahkan sektor informal lainnya. Hal ini karena sejurus dengan itu, pemerintah khususnya di daerah juga berkomitmen untuk terus meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dengan berkolaborasi dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP) lokal. Dengan demikian, pemungutan PPN oleh bendahara pemerintah akan memaksimalkan penyerapan anggaran demi optimalisasi layanan kepada masyarakat.

Sejurus dengan itu, pemerintah juga telah memberikan berbagai insentif berupa pengurangan hingga pembebasan PPN. Beberapa diantaranya adalah PPN dibebaskan untuk Barang Kena Pajak (BKP) berupa bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat banyak seperti beras, telur, dan sayuran serta Jasa Kena Pajak (JKP) seperti jasa pendidikan dan jasa pelayanan kesehatan. Diimbangi juga dengan penguatan bantalan sosial seperti subsidi pupuk, gas LPG 3 kg, listrik, dsb yang terus berlanjut hingga tahun 2025. Stimulus ini berguna untuk menjaga daya beli masyarakat akan kebutuhan dasarnya.

Disamping itu, bagi kelas menengah pemerintah juga menggelontorkan PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah tapak dan rumah susun baru serta PPN DTP untuk pembelian kendaraan bermotor listrik. Efek berganda dari geliat industri properti dan manufaktur dari hulu ke hilir tidak saja membawa keuntungan bagi konsumen, melainkan juga produsen.

Penelitian Agasi dan Zubaedah (2022) menjelaskan bahwa urgensi penyesuaian tarif PPN berdasarkan asas kepentingan nasional mampu membuat basis pajak yang lebih kuat dan merata berdasarkan APBN yang sehat serta berkelanjutan. Asas kepentingan nasional mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya.

Sejalan dengan diluncurkannya Coretax, diharapkan penyesuaian tarif PPN dapat diimbangi dengan peningkatan kuantitas PKP khususnya yang bermain di ekosistem digital. Hal ini lantaran masih banyak pelaku usaha daring yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan peredaran bruto melampaui 4,8 miliar setahun namun belum dikukuhkan sebagai PKP. Otoritas pajak dapat berkoordinasi dengan pihak lokapasar untuk memperoleh data terkait pengusaha daring di platformnya yang memiliki transaksi melebihi threshold dan wajib memungut PPN. Mekanisme pengayaan basis data PKP ini, dapat menciptakan level playing field yang lebih adil bagi pengusaha di ekosistem konvensional maupun digital.

Reformasi PPN ini diharapkan menjadi terobosan revolusioner yang mampu memberikan dampak ekonomi secara luas. Selain itu, perubahan ini adalah langkah vital untuk menjaga kontinuitas program-program prorakyat yang didukung dengan APBN yang sehat.

Sumber : DJP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *